Perjalanan Panjang

Pulang
Kembali Pulang
Kembali Kerumah
Beranjak dari tempat duduk jalanan. Dan pulang.
Membawa tiap lelah dan kepenatan. Dan pulang.
Sendi-sendi tulang yang menegang. Dan pulang.
Dengan hati yang entah tenang atau gamang.

Menikmati perjalanan adalah kunci. Namun tiada ruang untuk menikmati jika hati berat, jika hati sesak. Yaa Allah. Ada apakah?

Kaca-kaca kereta ini mulai mendingin. Sepi.
Perjalanan salah satu sudut Bogor ke sudut Depok jadi sepi begini. Merinding. Aku bahkam tidak berani memulai tuk keluarkan kata. Yaa Allah. Kalau lagi sendirian, kenapa jadi semua kepikiran?

Kereta mulai melaju kencang. Membawa ragaku dari satu stasiun ke stasiun lainnya. Terbang. Tubuhku bagaikan terbang. Riang. Tapi tidak riang.

Hari ini, aku bertemu dengan orang-orang hebat. Selalu hebat. Memulai, menjalani, dan meneruskan hidup dengan bersyukur. Walaupun pada akhirnya ada memang yang harus dikerjakan. Namun kesyukurannya menguatkan. Jadi, pantaskah untuk tidak bersyukur?

Ruang Rindu

Kalau kamu sederhana, mudah bergaul, sabar, suka petualangan, dan menghargai proses. Maka silakan datang.

---------------------------------------------
Bagiku, hidup ini adalah batu-batu loncatan menujuNya. Dan dalam setiap loncatan itu, terkadang aku jatuh. Bukan terkadang, namun sering. Hingga luka jatuhnya pun sering kali berbekas. Dan aku terhambat lagi satu langkah. Namun baiklah, aku tetap berangkat, berjalan, walaupun terkadang merangkak.

Hidupku jauh sekali dari kata sempurna menurut orang-orang. Namun bagiku, sempurna  itu adalah apapun pemberian Allah pada hambaNya yang Ia sayang. Dan apa yang Ia beri padaku, semoga adalah wujud kasih sayangNya.

Untuk kamu; sarjana petualangan yang mengabdi. Aku telah melihatmu dari kejauhan, meramu mimpi mengejar asa. Barangkali kita sama. Walau tentu aku lihat kamu begitu totalitas. Baiklah, sebenarnya ini hanya khayalan. Ini adalah ramuan doaku padaNya.

Untuk kamu; sarjana petualangan yang mengabdi. Semoga kamu tidak banyak mengomentari penampilan sederhanaku. Tidak mempermasalahkan uang yang lebih banyak aku keluarkan untuk hal yang lain daripada membeli baju dan accesoris ataupun make up. Tidak mempermasalahkan gayaku yang seperti itu-itu saja. Karena aku yakin, kamu paham. Bagaimana seharusnya muslimah berpakaian, dalam siatuasi dan acara apapun. Begitu-begitu saja kata mereka. Semoga kamu tidak marah. Semoga kamu tidak malu. Aku yakin; kamu lebih dari paham. Dan kita akan bantu untuk memahamkan yang belum. Menghantarkan busana ini bermakna besar dengan sikap dan sifat kita.

Untuk kamu; sarjana petualangan yang mengabdi. Semoga kamu tidak marah, ketika mendengar cerita akademikku tertinggal karena ketidaksanggupanku mengambilnya disaat amanah sedang memelukku. Semoga kamu mengerti alasanku, semoga kamu pun begitu.

Untuk kamu; sarjana petualangan yang mengabdi. Semoga kamu tidak heran. Saat akhir pekan aku mengajakmu pergi jauh dari ibukota. Menghirup udara segar. Melihat pucuk dedaunan. Menyergap batang-batang pohon. Semoga kamu mengerti, bagaimana Jakarta ini kian lama kian membunuh jiwa-jiwa.

Untuk kamu; sarjana petualangan yang mengabdi. Semoga kamu tidak lari. Ketika melihat aku hanya duduk terdiam disaat kesal. Ketika aku menangis ketika ingin mengeluarkan amarah. Ketika aku mencubit tanganku sendiri saat pikiranku berkecamuh. Aku ingat sabda Nabi, Laa Taghdab. Maka cukup beri aku Al-Quran. Dan ingatkan aku untuk beristighfar.

Untuk kamu; sarjana petualangan yang mengabdi. Mohon kiranya kamu setujui bagian visiku untuk tidak tinggal di Ibukota Indonesia. Dan aku siap tinggal dimana saja asal tentram.

Untuk kamu; sarjana petualangan yang mengabdi. Mungkin sesekali aku akan bersajak, dan terus menerus bersajak. Mohon ingatkan aku untuk menuliskannya. Atau kamu mau menulis untukku?

Untuk kamu. Siapapun engkau.
Selamat mengabdi pada Negeri. Pada Agama. Pada Keluarga.
Dai muda. Pengajar muda.
Aku tidak melihat dasimu. Tidak melihat tas koper kerjamu. Tidak melihat gesper bermerekmu. Tidak melihat sepatu licinmu. Karena aku yakin, mengajar di pedalaman tidak memerlukan itu.
Lihatkan pada anak-anak muridmu media pembelajaran terbaru buatanmu. Dengan mushaf yang selalu ada di meja kamarmu.

Menanti.

Lepas Dulu Semua Beban, Baru Berangkat

"Akhir-akhir ini agaknya aku mulai sombong. Menganggap semua bisa terlaksana karena tanganku sendiri. Menganggap semua bisa tergerak karena upayaku sendiri. Menganggap semua terlaksana karena jerih keringatku. Ah, pergi saja kau Put. Kau sudah mulai melupakan siapa sebenarnya penyetuju semua ini terjadi."

Barangkali benar.
Yang sangat lurus pun ada yang berusaha membengkokkan.
Buat apa sendok yang lurus, bisa berfungsi dikala lurus? Lalu dibengkokkan oleh sang pesulap. Buat apa? Kalau bukan hanya sekadar tontonan belaka. Berusaha menjadikan hal itu menjadi sesuatu yang 'wah'. Semua terjadi karena tangan dan kekuatan pikiran, katanya. Tapi bagiku, apa itu tidak sia-sia? Mamahku seringkali sebal jika sendok satu persatu hilang. Ini kok yang ada malah dibengkokkan?

Beranjak dari itu semua. Mari kita (aku) muhasabah diri.
Adakah kadangkala aku seperti pesulap itu? Mempertontonkan hal yang sia-sia? Berusaha membengkokkan yang seharusnya lurus? Berusaha membuat fungsi menjadi tak berfungsi?
Adakah yang ku bengkokkan itu hal yang paling mendasar dalam iman seorang muslim?
Niat? Apa menurutmu Niat?
Barangkali. Iya. Allahu. Put, istighfar

Innama amalu binniat.
Semua amal tergantung niatnya. Maka penting memiliki niat. Dan sebaik-baiknya niat adalah karena untuk beribadah kepada Allah. Birrul walidain untuk ibadah kepada Allah. Kuliah untuk ibadah kepada Allah. Kerja untuk ibadah kepada Allah. Menjalani amanah untuk ibadah kepada Allah. Walaupun yang nulis ini belum tentu niatnya lurus betul. Tapi bukankah niat itu harus terus di-upgrade? Bismillah.

Akhir-akhir ini begitu banyak daftar ceklist yang aku harus penuhi dengan maksimal. Tanpa harus berusaha memahamkan orang lain tentang apa yang sedang aku emban, maka aku harus tetap on setiap saat, biar senang para hati yang aku bertanggung jawab padanya.
Namun aku manusia, aku manusia, aku manusia. Sesempurna apapun aku melakukan perencanaan, Allah jua yang berkehendak untuk menyetujui terjadi. Allah Maha Baik. Dan dari setiap apa yang Ia berikan, selalu, selalu, selalu Ia beri banyak makna dan pembelajaran, serta evaluasi diri yang harus aku perbaiki. Semua itu semata-mata untuk... memperbarui niatku. Apa masih lurus, Put? Kata Allah.

Begitu juga kala menerima koreksi. Seorang muslim yang paham akan amanah dan paham akan dirinya, semestinya bersenang hati ketika dikoreksi, diberikan nasihat, diberikan penilaian. Tiada tujuan, selain untuk ajang pembelajaran. Barangkali benar kata pepatah, gajah dipelupuk mata tidak terlihat, sedangkan semut diujung lautan begitu jelas terlihat. Sama halnya kecacatan dalam diri sendiri tiada pernah terlihat, namun kesalahan orang lain, sampai detilnya pun ia hafal. Atau jangan-jangan gajahnya yang ngumpet dibalik kelopak mata? Astaghfirullah. Betapa sombongnya kamu Put.
Semoga segala nasihat, koreksi, masukkan, engkau jadikan ajang upgrading diri. Ajang evaluasi diri.
Karena kita hanya perlu 2 cermin dalam hidup. Cermin pertama untuk melihat kelebihan orang lain. Cermin kedua untuk melihat kekurangan diri sendiri.

Berat. Berat. Ketika melihat wajah-wajah yang menjadi tanggungjawabku. Melihatnya begitu ingin aku sentuh jiwa serta raganya. Sedang tanganku cuma dua. Kakiku cuma dua. Badanku hanya satu. Dan hatiku mungkin hanya habis memikirkan diri sendiri. Bahkan waktuku yang lebih banyak berbuat dosa. Sakit. Sakit. Sakit. Ingin aku lari. Namun lari dari kenyataan pun hanya solusi bagi seorang pecundang. Bagi pejuang, tetap bertahan dan memperbaiki apa yang salah dan apa yang kurang adalah sebaik-baiknya solusi.

Jadi, 2 hari lagi aku akan memulai perjalanan safar terjauhku. Aneh memang. Mengapa safar bagiku begitu istimewa? Apa aku seperti burung yang keluar dari sangkarnya? Tidak juga.
Barangkali merantau membuat kawan-kawanku menjadi begitu dewasa dan kuat. Dan bagi yang tidak merantau, safar adalah momentum terbaik untuk belajar hidup, belajar mandiri.
Bagiku, tidak boleh aku memulai perjalanan safar tanpa ku taroh semua beban ku baik-baik dalam rumah. Menyimpannya dengan rapih. Dan pergi dengan hati yang lapang. Senantiasa menjadikan diri sebagai gelas yang kosong. Yang siap menerima pembelajaran baru untuk hidup. Jadi begitu kawan. Bagaimana safar bagiku begitu istimewa, kaya s*tv.

Semoga, kawan-kawan senantiasa memaafkan kesalahan Pute baik yang disengaja maupun yang tidak sengaja. Dosa lahir maupun batin. Dosa kecil maupun besar. Mohon ringankan langkah kita bersama dengan saling bermaafan.

Sekian.
Curahan hati di H-2 menjelang 17 jam di kereta. Kota Apel, Kota Malang. Kota Pejuang, Kota Surabaya. Sampai Berjumpa.

Insyaa Allah, Kalisari tetap tempat kembaliku, Rumahku.