"Akhir-akhir ini agaknya aku mulai sombong. Menganggap semua bisa terlaksana karena tanganku sendiri. Menganggap semua bisa tergerak karena upayaku sendiri. Menganggap semua terlaksana karena jerih keringatku. Ah, pergi saja kau Put. Kau sudah mulai melupakan siapa sebenarnya penyetuju semua ini terjadi."
Barangkali benar.
Yang sangat lurus pun ada yang berusaha membengkokkan.
Buat apa sendok yang lurus, bisa berfungsi dikala lurus? Lalu dibengkokkan oleh sang pesulap. Buat apa? Kalau bukan hanya sekadar tontonan belaka. Berusaha menjadikan hal itu menjadi sesuatu yang 'wah'. Semua terjadi karena tangan dan kekuatan pikiran, katanya. Tapi bagiku, apa itu tidak sia-sia? Mamahku seringkali sebal jika sendok satu persatu hilang. Ini kok yang ada malah dibengkokkan?
Beranjak dari itu semua. Mari kita (aku) muhasabah diri.
Adakah kadangkala aku seperti pesulap itu? Mempertontonkan hal yang sia-sia? Berusaha membengkokkan yang seharusnya lurus? Berusaha membuat fungsi menjadi tak berfungsi?
Adakah yang ku bengkokkan itu hal yang paling mendasar dalam iman seorang muslim?
Niat? Apa menurutmu Niat?
Barangkali. Iya. Allahu. Put, istighfar
Innama amalu binniat.
Semua amal tergantung niatnya. Maka penting memiliki niat. Dan sebaik-baiknya niat adalah karena untuk beribadah kepada Allah. Birrul walidain untuk ibadah kepada Allah. Kuliah untuk ibadah kepada Allah. Kerja untuk ibadah kepada Allah. Menjalani amanah untuk ibadah kepada Allah. Walaupun yang nulis ini belum tentu niatnya lurus betul. Tapi bukankah niat itu harus terus di-upgrade? Bismillah.
Akhir-akhir ini begitu banyak daftar ceklist yang aku harus penuhi dengan maksimal. Tanpa harus berusaha memahamkan orang lain tentang apa yang sedang aku emban, maka aku harus tetap on setiap saat, biar senang para hati yang aku bertanggung jawab padanya.
Namun aku manusia, aku manusia, aku manusia. Sesempurna apapun aku melakukan perencanaan, Allah jua yang berkehendak untuk menyetujui terjadi. Allah Maha Baik. Dan dari setiap apa yang Ia berikan, selalu, selalu, selalu Ia beri banyak makna dan pembelajaran, serta evaluasi diri yang harus aku perbaiki. Semua itu semata-mata untuk... memperbarui niatku. Apa masih lurus, Put? Kata Allah.
Begitu juga kala menerima koreksi. Seorang muslim yang paham akan amanah dan paham akan dirinya, semestinya bersenang hati ketika dikoreksi, diberikan nasihat, diberikan penilaian. Tiada tujuan, selain untuk ajang pembelajaran. Barangkali benar kata pepatah, gajah dipelupuk mata tidak terlihat, sedangkan semut diujung lautan begitu jelas terlihat. Sama halnya kecacatan dalam diri sendiri tiada pernah terlihat, namun kesalahan orang lain, sampai detilnya pun ia hafal. Atau jangan-jangan gajahnya yang ngumpet dibalik kelopak mata? Astaghfirullah. Betapa sombongnya kamu Put.
Semoga segala nasihat, koreksi, masukkan, engkau jadikan ajang upgrading diri. Ajang evaluasi diri.
Karena kita hanya perlu 2 cermin dalam hidup. Cermin pertama untuk melihat kelebihan orang lain. Cermin kedua untuk melihat kekurangan diri sendiri.
Berat. Berat. Ketika melihat wajah-wajah yang menjadi tanggungjawabku. Melihatnya begitu ingin aku sentuh jiwa serta raganya. Sedang tanganku cuma dua. Kakiku cuma dua. Badanku hanya satu. Dan hatiku mungkin hanya habis memikirkan diri sendiri. Bahkan waktuku yang lebih banyak berbuat dosa. Sakit. Sakit. Sakit. Ingin aku lari. Namun lari dari kenyataan pun hanya solusi bagi seorang pecundang. Bagi pejuang, tetap bertahan dan memperbaiki apa yang salah dan apa yang kurang adalah sebaik-baiknya solusi.
Jadi, 2 hari lagi aku akan memulai perjalanan safar terjauhku. Aneh memang. Mengapa safar bagiku begitu istimewa? Apa aku seperti burung yang keluar dari sangkarnya? Tidak juga.
Barangkali merantau membuat kawan-kawanku menjadi begitu dewasa dan kuat. Dan bagi yang tidak merantau, safar adalah momentum terbaik untuk belajar hidup, belajar mandiri.
Bagiku, tidak boleh aku memulai perjalanan safar tanpa ku taroh semua beban ku baik-baik dalam rumah. Menyimpannya dengan rapih. Dan pergi dengan hati yang lapang. Senantiasa menjadikan diri sebagai gelas yang kosong. Yang siap menerima pembelajaran baru untuk hidup. Jadi begitu kawan. Bagaimana safar bagiku begitu istimewa, kaya s*tv.
Semoga, kawan-kawan senantiasa memaafkan kesalahan Pute baik yang disengaja maupun yang tidak sengaja. Dosa lahir maupun batin. Dosa kecil maupun besar. Mohon ringankan langkah kita bersama dengan saling bermaafan.
Sekian.
Curahan hati di H-2 menjelang 17 jam di kereta. Kota Apel, Kota Malang. Kota Pejuang, Kota Surabaya. Sampai Berjumpa.
Insyaa Allah, Kalisari tetap tempat kembaliku, Rumahku.
0 Response to "Lepas Dulu Semua Beban, Baru Berangkat"
Posting Komentar