Aku merindu.
Dua kata yang tak ubahnya sebuah pengakuan tak beralasan. Memang tidak butuh alasan untuk merasakan rindu. Sejauh apa kita berlari, toh pada akhirnya aku kembali. Menanti serpihan rindu utuh lagi. Aku tidak berani. Aku sama sekali tidak berani berlari.
Berbalut ku menahan api, menghadangnya dengan air. Kata Rangga, memilikimu sekali lagi adalah kebodohan dan ketidaktahudirian. Namun bagiku, memilikiMu sekali lagi dan selamanya adalah kemampuan. Aku yakin. Aku mampu. Lagi-lagi, sejauh apapun aku berlari, aku kembali.
Aku benci dalam elegi. Menahan semua kenangan muncul lagi. Aku benci memiliki ingatan tentang hal buruk, karena..aku menangis lagi. Untuk kesekian kali. Tanpa sebab aku merana, aku kecewa. Lalu kembali aku bisa berlari lagi? Ku harap. Sejauh apapun aku berlari, aku kembali.
Sebab. Masa lalu tidak ubahnya sebuah halaman sebelum hari ini. Pernah ku sebut bahwa hidup adalah sebuah lembaran-lembaran? Dan hari ini, kita berada dititik yang kosong. Sudah lama aku tidak menulis diary. Aku tidak berani. Menuliskan banyak dosa hari demi hari. Seolah hukuman menghujam jantungku. Aku tersesak. Aku berhenti menulis diary. O, betapa lembaran sebelum ini adalah tinta merah hidupku? Apa yang aku perbuat hanyalah dosa?
Ku harap. Dan aku berharap, sejauh apapun aku berlari, aku kembali.
Aku. Sang bidadari untuk diriku sendiri. Sang permaisuri untuk hidupku sendiri. Sang pelayan untuk diriku sendiri. Boleh jadi aku hanya bermain peran saja selama ini. Boleh jadi, semua hanya ber-pura? Aku harap tidak. Boleh kata orang hidup ini panggung sandiwara. Atau bahkan lebih rumit lagi seperti sandi morse. Lalu bagaimana dengan aku? Sandi-rian selalu? Begitu?
O, Sang Pemilik Hati. Sajakku niat untuk berlari, sebentar kemudian aku kembali. Apa maksudmu ini yang namanya pelukkan kasih?
Sejauh apapun aku berlalu, aku kembali. Kembali padaMu, Rabb. Aku harap begitu. Selalu. Selamanya. ☺
0 Response to "Bahkan Sampai Sejauh Mana Aku Berlari, Aku Kembali"
Posting Komentar